Polemik Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) kian bertambah. Hal ini disebabkan sebuah PLTSa baru yang sedang dibangun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo yang berada di Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres. Langkah pembangunan PLTSa di TPA Putri Cempo ini dianggap sebagai terobosan Pemerintah Kota Surakarta dalam menangani tumpukan sampah yang mencapai 94,9 juta ton setahun di TPA tersebut. Benarkah salah saatu jenis teknologi termal ini bagian dari solusi? atau malah jadi sebuah ilusi?
Beberapa waktu lalu, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Tengah menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Mengawal Pembangunan PLTSa Putri Cempo” di Hotel Adhiwangsa, tepatnya pada 28 September 2022. Kegiatan ini dihadiri oleh 23 peserta yakni warga terdampak PLTSa, WALHI, Nexus3 Foundation, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Surakarta, Yayasan Gita Pertiwi, Bappeda Surakarta, akademisi, wartawan dan mahasiswa. Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, dan perwakilan DPRD Surakarta turut diundang. Akan tetapi, keduanya mangkir dari diskusi tersebut.
Program Manager Nexus3 Foundation, Krishna Zaki menjelaskan bahwa sampah di Indonesia saat ini didominasi oleh sampah organik yang lembab dan basah, sedangkan bahan baku yang diperlukan PLTSa adalah sampah anorganik yang memiliki kalor tinggi. “Sampah yang sudah ada di PLTSa Putri Cempo juga sudah tercampur sehingga perlu dipilah terlebih dahulu,” paparnya.
PLTSa Putri Cempo diproyeksikan memerlukan 200 ton sampah baru dan 189 ton sampah lama untuk menghasilkan 10 megawatt/hari. Meski sampah lama juga akan digunakan sebagai bahan baku sebanyak 48%, jumlah tersebut dinilai masih kurang untuk mencapai syarat bahan baku PLTSa Putri Cempo sebanyak 389 ton/hari.
“Hal ini tentu kontradiktif dengan kebijakan pengelolaan sampah dari hulu yang dikeluarkan oleh Pemkot Surakarta karena proyeksi sampah terus menurun tiap tahunnya,” ujar Khrisna. Berdasarkan data DLH Surakarta, pada tahun 2020 jumlah sampah yang masuk ke TPA Putri Cempo sebanyak 295,54 ton/hari. Angka ini turun 2,7% dari tahun sebelumnya yang mencapai 303, 81 ton/hari.
Arthaty Mulasih, perwakilan DLH Surakarta, menerangkan bahwa PLTSa akan menjadi solusi TPA yang sudah overload sejak tahun 2010. Ia juga menjelaskan, skema pembiayaan operasi PLTSa Putri Cempo sepenuhnya ditanggung oleh pihak ketiga, China Construction Bank (CCB) Indonesia, dan tidak menggunakan APBD Kota Surakarta. PT Surya Citra Metro Plasma Power (SCMPP) bertanggung jawab sebagai penggarap proyek PLTSa sejak 2018. “Saat ini proyek telah mencapai 88,51% dan diperkirakan akan beroperasi pada awal 2023,” ungkap Arthaty.
Pada tanggal 27 – 29 Juni 2022 telah dilaksanakan uji coba pengoperasian mesin dengan memanfaatkan sampah lama. Arthaty mengungkapkan bahwa dalam uji coba tersebut, listrik yang dihasilkan masih jauh dari yang dipersyaratkan. Produksi listrik yang dihasilkan hanya 125 KwH, sedang target yang telah ditetapkan adalah 200 KwH. “Namun, hal ini masih bisa diterima karena uji coba ini masih menggunakan sampah lama,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Jateng, Fahmi Bastian, mengkritisi dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial keberadaan PLTSa Putri Cempo. Menurutnya, penyusunan Adendum AMDAL RKL RPL Pengelolaan TPA Putri Cempo dan Rencana Pembangunan PLTSa 2018 yang dinilai melewati ambang batas parameter lingkungan dan baku mutu. “PLTSa ini akan berdampak signifikan terhadap upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sehingga lebih baik membuat AMDAL yang baru bukan adendum,” ujarnya.
Senada dengan Fahmi, Ketua Paguyuban Pemulung PLTSa Putri Cempo, Parno turut menyuarakan keluhannya. Ia mengeluhkan polusi pembakaran sampah, padahal dalam sosialisasi sebelumnya disampaikan bahwa metode gasifikasi yang digunakan PLTSa Putri Cempo tidak mengakibatkan polusi. Pada uji coba akhir Juni lalu, warga sekitar juga mengeluhkan kebisingan yang dihasilkan oleh mesin generator tanpa adanya peredam suara.
Tak hanya Parno, Karni, selaku warga terdampak pembangunan PLTSa Putri Cempo juga mempertanyakan nasib para pemulung. Dalam sosialisasi sebelumnya, pemulung dijanjikan akan dibuatkan tempat tersendiri dan terjamin kesejahteraannya. Namun, dalam skema ini para pemulung masih belum mengetahui apakah semua pemulung masih bisa masuk ke area tersebut, mengingat tidak semua pemulung masuk ke database pemulung. “Katanya mau disejahterakan, tapi ndak tau sejahtara yang gimana,” keluhnya.
Sementara itu, Direktur Program Yayasan Gita Pertiwi Titik Eka Sasanti mengatakan PLTSa bukan solusi cerdas untuk mengatasi persoalan sampah. Menurutnya, teknologi ini memang akan menghilangkan tumpukan sampah yg menggunung di TPA, tapi itu solusi sesaat yang akan menimbulkan persoalan baru di lingkungan, kesehatan, ekonomi dan sosial sebab sampah bukan menghilang namun berubah menjadi zat lain yang membahayakan. “Mengurangi sampah dari sumbernya, kemudian melakukan pengelolaan sampah dengan pilah, kelola dan manfaatkan merupakan solusi tepat. Harus dioptimalkan fungsi bank sampag, tidak hanya pilah sampah yang bernilai ekonomi, tetapi juga pilah sampah organik untuk digunakan meningkatkan produksi pangan perkotaan,” pungkasnya. (Kia)